NOVEL

KISAH SEPERTI DI FILM-FILM






    "Anjir nangis lagi gue. Lemah sialan." Kataku pelan ketika tengah menonton ending "You Are the Apple of My Eye" untuk kali kedua. Usai menyelesaikan film yang aku tonton dengan isak tangis tak bersuara dan aku mengusap air mataku dengan lembaran tisu hingga kering. Aku dengan mata sembab seolah tersengat tawon kemudian memutar badanku ke arah kanan dengan posisi berbaring menatap langit-langit kamar. Smartphone yang hendak aku letakkan di sebelah kiriku, kemudian tak sengaja tersenggol tangan tangan kiriku hingga memutar "Somewhere Only We Know" dari Keane. Aku menikmati lagu hingga mulai tenggelam kembali dalam lamunan, "Kenapa semua kisah cinta ini terasa sangat realistis bagiku? Mengapa kisah Unrequited Love terasa sangat cocok untukku? Kenapa masa-masa sekolah bagi mereka terasa sangat menarik? Bagaimana jika aku punya kisah kenakalan dan cinta seperti di film-film yang aku tonton?" 

    Selain itu, lamunanku kemudian bercampur aduk dengan pikiran-pikiran lain. "Aku sudah sangat matang untuk menikah, tahun depan (2024) usiaku 28 tahun, tapi mengapa sangat sulit bagiku membangun sebuah hubungan? Mengapa tidak ada seseorang yang cocok denganku yang mampu mendukungku dan selalu berada di sisiku? Aku terlalu menutup diri, tapi bukan salahku aku hanya takut mereka tak bahagia denganku, aku takut mereka hanya ingin memanfaatkanku, aku takut mereka menaruh ekspektasi yang tinggi padaku, aku takut saat mereka tahu aku bukanlah diriku yang dulu mereka akan merendahkanku, mencampakkanku, menertawakanku, menggunjingku, aku takut orang tuaku tak setuju dengan mereka. Aku hanya takut." Kemudian air mataku kembali menetes beberapa kali hingga hidungku terasa sangat berlendir, salah satu lubangnya bahkan mampat. "Ah sial, kepalaku sakit lagi, leherku menegang." Kataku dengan sadar dan mulai memijat belakang leherku. "Sudahlah aku harusnya tidur, sudah pukul 02.00 pagi." Aku yang lelah kala itu kemudian memejamkan mataku. Tak menyangka aku tertidur secepat itu, biasanya aku kerap tak bisa tidur karena gelisah, tapi tak aku sangka, aku sekali lagi bertemu dengan mereka-mereka, anehnya mereka terus-terusan muncul dalam mimpiku membawa kenangan yang indah tapi menyakitkan untuk kuingat kembali.

BAB I: Mimpi Pertama: Kenangan Masa Sekolah Dasar

    "Kin, bangun sana mandi nanti gantian dengan Ayah dan Kakakmu!" teriakan Ibuku untuk kesekian kali dari dapur. Aku yang samar-samar terbangun menggosok-gosok mataku, memperhatikan jam dinding yang menunjukkan pukul 5 pagi. "Huuuuh, kenapa aku selalu harus mandi duluan, padahal kan aku ingin mandi belakangan!" "Apa boleh buat, emak nanti ngomel aku anak perempuan, sekali lagi aku harus mengalah." Kataku dalam hati memperhatikan Ayahku yang masih tertidur di sampingku (maklum rumah kami masih direnovasi, jadi aku belum punya kamar sendiri). Aku bangkit dari tempat tidur dengan kondisi mata seperti disengat lebah, wajah seperti Nyonya Puff, dan rambut seperti singa jantan. Aku bangkit dengan sempoyongan ke kamar mandi. Setelahnya, aku mengenakan seragam merah putih, bercermin sejenak kemudian mengenakan jaket merah maroon yang dibelikan Pakdeku tahun lalu, menutup kepalaku dengan tudung dari jaketku itu. Yah aku siswi kelas 5 SD di SDN 75, sekolah yang berjarak 2,5 KM dari rumahku. Gayaku sedikit tomboy, aku tak peduli dengan penampilan, selama aku punya jaket merah maroon legendarisku yang bisa menyembunyikan beberapa helai rambut putihku, aku merasa aman. Aku memang sudah mulai memiliki uban sejak kelas 3 SD. Itu sangat memalukan bagiku. Jadi, sejak itu aku memutuskan untuk memakai jaketku terus-menerus, tak peduli apa pun kondisinya.

    Ibuku kemudian menghidangkan menu sarapan, tumis kacang panjang kecap kesukaanku, nasi putih dengan telur dadar untukku dan telur mata sapi untuk kakakku. Aku, Ayahku dan Kakak laki-lakiku yang sudah kelas 9 SMP menyantap makanan dengan terburu-buru sambil ditemani ocehan Ibuku yang kerepotan di pagi hari seperti ibu-ibu pada umumnya. Aku memaklumi Ibuku, kakakku "Viar" seperti anak laki-laki pada umumnya, sudahlah jangkung kurus kering, mandi paling terakhir, tak pernah mempersiapkan seragam dan buku-buku yang akan di bawa ke sekolah meskipun harus berangkat paling awal karena harus mengejar angkot sekolah. Yah sekolahnya berjarak 11 KM sangat jauh, jadi Ayah dan Ibu sepakat untuk memfasilitasinya dengan angkot untuk antar jemput sekolah. Seusai mengantarkan kakakku ke tempat angkot itu mangkal, akhirnya giliranku untuk pergi sekolah. Ayahku mengantarkanku ke sekolah. Ini merupakan tahun ajaran baru 2008, di kelas 5 SD dan aku duduk kembali dengan Putri yang dulu pernah duduk sebangku denganku di TK besar sampai kelas 3 SD. Nisa adalah tipikal anak alim yang memakai jilbab satu-satunya di kelas, berwajah oriental dengan mata yang agak sipit tahi lalat di dekat mulutnya yang membuatnya sedikit cerewet, berkulit putih bersih, badannya agak besar tinggi, berkacamata. Yang paling membekas antara aku dan dia adalah ketika dia menuduhku menyontek untuk dapat nilai ulangan IPA paling tinggi di kelas. Aku bahkan memusuhinya dan menggerakkan bangku kayu sampai menjepit pahanya dengan kursi. Dia menangis begitu pula denganku, kami berdua bertengkar dan dilerai oleh Miss Nisa Guru Bahasa Inggris yang lemah lembut berwajah paling cantik sedikit blasteran, berkulit putih, memakai jilbab, dan tinggi. Aku bahkan harus meminta maaf duluan agar bisa pulang ke rumah. Selain dia, aku juga kembali bertemu dengan teman-temanku di kelas sebelumnya ditambah dengan 3 anak tak naik kelas, Adan, Kiki, Arsyad. Pelajaran pertama dimulai, hari pertama adalah pelajaran yang aku suka, yaitu IPA, Bu Rukmini guru yang lemah lembut berwajah teduh dengan senyum yang khas seperti Ibu-Ibu Jawa, beliau punya tubuh yang mungil menjelaskan tentang sistem pencernaan. Well, aku sudah akrab dengan organ-organ itu karena aku sudah membaca buku cetaknya berulang kali. 

    Aku memang terdengar sangat ambis untuk bisa lebih tahu duluan ketimbang teman-teman lainnya begitulah aku sejak TK. Dikala anak-anak seusiaku masih berhitung dengan menggunakan jari, aku bahkan sudah bisa berhitung tanpa jari, terkadang belajar perhitungan di TK terasa sangat membosankan. Aku memang sedikit punya gen Ibuku yang jago hitungan, ditambah juga karena aku suka belajar eksak. Aku selalu senang melihat Ayahku mengajari Kakakku sejak dia masih SD. Ayahku kerap kali mengajarkan Kakakku yang baru kelas 6 SD dengan tes koran untuk psikotes kerja. Yah dia memang pintar, saat kelas 6 SD, Kakakku bahkan punya IQ di atas 120, salah satu pemilik NIM tertinggi dengan nilai mata pelajaran Matematika, IPS, dan Bahasa Indonesia 100, dan nilai IPA, Agama, dan PPKN adalah di atas 95. Dia juga hampir dapat beasiswa dari SMP Swasta terbaik di kotaku. Dia kerap kali dipuji-puji oleh guru-guru di SD-ku, salah satunya adalah Bu Rioman. Guru Matematika killer di sekolahku, berwajah khas suku batak, berambut keriting yang selalu dikuncir, selalu menggunakan celana panjang dan menenteng penggaris kayu besar kemanapun melangkah. Kerap kali bergurau dan mengatai-ngatai anak muridnya yah tentu untuk lucu-lucuan. Beliau selalu memuji Kakakku, yah aku memang tidak diajar oleh beliau tapi aku kerap dengar namanya disebut. Aku iri sekali dengannya, dia mendapatkan banyak hal ketimbang aku, Ayah dan Ibuku sangat memperhatikan nilainya, mengajarinya secara langsung, tapi aku juga sangat bangga dengannya. 

    Ayah dan Ibuku memperlakukanku dan Kakakku sangat berbeda. Ayah dan Ibuku jauh lebih keras dengan Kakakku karena dia laki-laki, dia sering dimarahi, pernah sesekali dipukul sapu lidi, dicubit dan sebagainya karena memang dia anak yang apa-apa harus dapat, sedangkan aku Ayah dan Ibuku tak pernah memukulku sama sekali karena aku anak perempuan juga aku sangat sering sekali sakit. Dalam cerita Ibuku, aku sudah sangat merepotkan sejak dalam kandungan. Ibuku mengatakan bahwa melahirkanku adalah hal sulit dan tak pernah berpikir memberikanku adik karena takut adikku sakit-sakitan seperti aku. Saat aku dilahirkan, kepalaku yang bulat dan besar membuat Ibuku kehilangan darah, kata Ibuku, dia sudah sampai dipasangi dengan selang napas oksigen kala itu. Ayahku juga sudah menangis meraung-raung karena takut terjadi apa-apa terhadap Ibuku. Aku memang sudah cukup merepotkan tapi syukurlah itu sudah terlewati. 

    Aku dilahirkan ke dunia ini, tapi di usia 8 bulan aku sudah harus di opname karena diare parah, kemudian di usia 5 tahun di opname kembali karena flek paru-paru atau yang dikenal dengan Tuberkulosis (TB) paru. Oleh karenanya, aku kerap kali bolak-balik ke rumah sakit untuk rontgen paru-paru dan cek lab untuk pengambilan sampel darah, padahal aku benci dan takut dengan jarum suntik. Maklum saja rumahku berdekatan dengan pabrik petrokimia yang proses pembuangan limbah amonianya dilakukan pada malam hari ditambah tetanggaku yang punya mebel kayu dan memelihara puluhan bebek. Ini cukup membuatku bolak-balik rumah sakit. Efek flek paru-paru juga membuatku punya rhinitis di saluran pernapasan, yang mana aku tak bisa terlalu kelelahan atau terkena partikel-partikel kecil seperti debu, asap, bulu dan sebagainya atau aku akan mulai batuk-batuk, radang tenggorokan, demam di atas 38 derajat, batuk kejan dan malam hari aku akan mengalami sesak napas (asma) ditambah hidungku yang mampet dua-duanya, berakhir dengan aku yang dinebulizer di UGD. Aku juga punya Tonsilitis (Radang Amandel) dan kapan hari aku menderita sariawan hingga seluruh rongga mulutku dipenuhi spot-spot putih. Aku bahkan kesulitan menelan air minum dan makan. Aku juga berulang kali sakit mata atau yang dikenal dengan konjungtivitis. Kemudian di kelas 2 SD aku terpaksa di opname kembali karena terkena DBD, aku bahkan sudah melewati fase tapal kuda, berhari-hari demam, beberapa kali mimisan dan aku lumayan kurus dan sulit makan, berbeda dengan Kakakku. Aku bahkan berakhir di rumah sakit sepanjang 10 hari, hingga dokter dan perawat kebingungan. Selama itu, aku kerap bolak balik faskes tiap bulan hingga catatan sakitku lebih tebal dari yang lainnya. Aku juga kerap kali absen di sekolah tiap bulannya, yah guru-guru sudah paham jika aku memang sering sakit. Bahkan penjual di warung sekolah paham aku sering jajan apa, air putih gelas dengan roti coklat gepeng 500-an karena aku tak boleh minum es, dan jajan sembarangan. Aku bahkan tak bisa merasakan es teh sisri 500-an, cireng atau jajanan lain yang dijual di sekolah.

    Begitulah aku, makanya kadang meskipun aku iri sekali dengan kakakku, aku tak pernah menyalahkannya karena Ayah Ibuku banyak mengabulkan keinginannya sebab aku sudah banyak menyita perhatian Ayah dan Ibuku karena aku yang kerap kali sakit. Meski tak sepintar Kakakku tapi aku cukuplah berprestasi, aku ikut cerdas cermat agama dan sampai mewakili provinsiku ke Jakarta. Aku juga meraih peringkat 3 besar di kelas. Well, aku mungkin cukup pintar di sekolah, setidaknya itu perasaanku atau juga perasaan teman-temanku. Teman-temanku menggambarkan aku dengan siswi berambut sedada yang diurai tetapi selalu terbungkus dengan tudung jaket merah maroon, aku lumayan pendiam, galak, cuek, sering kali anak laki-laki di kelasku menggodaku. Entah alasannya apa, apa karena aku ketua kelas atau terlalu galak ke mereka. Aku tak suka bagaimana anak-anak cowok di sekolahku meledekku, mana lagi yang paling doyan meledekku punya wajah paling jelek, di antaranya bergigi tonggos, terkadang aku mengomel dan terkadang aku akan memukul belakang punggungnya hingga berbunyi "deg". Begitulah aku, terlalu tomboy, bahkan pernah suatu waktu di kelas 4, ada salah satu siswa namanya Januar dia meledekku tentu saja aku pukul punggungnya beberapa kali sampai dia menangis dan tak aku sangka dia mengadukanku ke wali kelasku. 

    Terlihat sangat tomboy, tapi teman-temanku rata-rata perempuan, aku punya teman dekat namanya adalah Novia. Novia kugambarkan mirip dengan Hyun Jin "Le Serafim", sosoknya cantik, berambut sebahu dengan poni di atas alis, berhidung kecil mancung, punya garis senyum atau garis nasolabial yang jelas, bibir tipis, dan bertubuh mungil seperti Minami Hamabe. Dia pintar dan sainganku di kelas, menurutku sih dia lebih pintar daripada aku, dia juga sangat cerewet. Aku mengenalnya sejak kecil. Rumah kami terpaut 5 menit jika berjalan kaki, orang tuaku dan orang tuanya mengenal satu sama lain. Kakak perempuannya dengan Kakakku adalah teman sekelas sejak SD dan SMP, bahkan aku mendengar "Kakakku yang tak setampan itu" diperebutkan oleh Kakaknya. Yah kami mengenal dekat satu sama lain, Ibuku atau Ibunya juga kerap kali bergantian menjemput kami sepulang sekolah, terkadang Omnya yang menjemput kami. Pertemanan kami akrab aku kerap ke rumahnya dan sebaliknya. Kami juga ketambahan teman dekat yaitu Mita yang merupakan murid pindahan dari sekolah lain di semester lalu, dia kugambarkan sebagai sosok Jihyo "Twice" dengan rambut sebahu dan berponi, berkuli sawo matang, badannya juga berisi, dia sangat bawel tapi cukup up to date untuk gaya-gaya berpakaian. Untuk kecerdasan, mungkin dia lebih cocok di seni ketimbang pelajaran lainnya. Kami bertiga sering kali bermain bersama, dia yang menginfluence kami tentang dunia percintaan yang mana awalnya kami tak begitu tertarik, dia juga sangat pandai bergosip. Kami bertiga kerap duduk di tengah, karena tak suka duduk terlalu di depan seperti yang dilakukan Amara, dia sosok yang kerap kali kami labeli dengan perempuan ganjen pencari muka. Amara sebenarnya perempuan berwajah cantik memiliki rambut panjang pirang bergelombang cenderung keriting sebokong, berkulit putih seperti blasteran luar negeri dengan tahi lalat yang cukup banyak, dia juga cukup tinggi, kalau boleh kusebut dia mirip Alexa Key. Yang tak kami suka adalah dia sangat cerewet, kerap kali berbicara di luar konteks, tak suka jika kami lebih unggul ketimbang dia dan bereaksi terlalu berlebihan, sikapnya terhadap lawan jenis juga terlalu lebay. Aku mengingat jelas dia kerap menambahkan-nambahkan nama panjangnya, kerap kali mengatakan bahwa dia sering menggores pergelangan tangannya, pernah berpura-pura kesurupan dan menangis-nangis akan melompat dari lantai 2 sekolah, dia juga sangat ganjen dengan Guru Bahasa Inggris laki-laki baru kami, yak namanya adalah Mr. Jay. Sosok laki-laki tampan, tinggi, punya wajah manis dengan lesung pipi yang dalam ditambah dengan sering kali ikut bermain volley. Ah jika diceritakan kelakuan aneh dan super lebaynya sangat banyak, aku hanya bisa menghembuskan napas saja.

    Pelajaran pertama berakhir cukup lancar. Anak-anak lain keluar untuk beristirahat dan jajan. Aku juga begitu, mulai memberanikan diri untuk membeli es teh sisri, sesuatu yang selama ini ingin aku coba. Rasanya sangat menyegarkan jauh menyegarkan ketimbang air mineral gelasan yang selama ini aku minum. Setelah puas dengan minum es, aku kembali ke dalam kelas. Aku duduk dan mulai memperhatikan kelakuan anak-anak di kelas. Ada satu anak yang baru ku kenal dia mencuri perhatianku. Dia Adan, bertingkah menjijikkan memainkan rangka palsu yang kerap kali digunakan untuk peraga IPA di kelas dengan vulgar.  Aku memandangnya sangat aneh, bagaimana itu dianggap lucu oleh anak laki-laki lain. Tingkahnya benar-benar nakal, dalam benakku wajar saja dia tak naik kelas 3 kali, dia seharusnya 1 tingkat di bawah Kakakku. Adan sebenarnya tampan, dia mirip Shone "First Love (A Little Thing Called Love)," bertubuh tinggi, yah wajar saja dia memang sudah tua, berkulit putih, wajahnya agak oriental, pintar olahraga dan kudengar-dengar cita-citanya jadi pemain sepak bola.

Gaya berpakaiannya mirip dengan Shone tapi kelakuannya mirip dengan Hsu Tai Yu "Our Times"

Intinya aku tak suka dengan kelakuan anak nakal sepertinya, tapi nampaknya si Amara suka dengannya. Bahkan kerap kali mencoba untuk berdekatan, "Well biarlah aku tak mau ambil pusing. Aku sudah sering dijahili anak laki-laki ga jelas, jangan sampai aku dijahili olehnya juga."

BAB II: Mengenal Si Pembuat Onar

BAB III: Apa Itu Rasa Suka dan Masa-Masa Seru Kelas 6

BAB IV: Kebucinan Si Bocah Bau Kencur

   Setelah perundingan yang cukup sengit dengan Ayahku, aku putuskan untuk tetap melanjutkan sekolah di SMPN 75. Yah semuanya karena aku takut jika aku harus ikut seleksi di SMP Kakakku dan gagal pasti Ayahku akan bereaksi yang sama ketika aku diam-diam mengikuti seleksi beasiswa di SMP Swasta yang sama dengan Kakakku sebelumnya dan hasilnya yang gagal di tahap satu. Aku juga mendengar bagaimana Ayahku mengatakan bahwa dia malu, karena Novia berhasil masuk sementara aku tidak. Aku mengingat dengan benar aku menangis sesenggukan karena takut Ayahku mengomeliku. Alasan lainnya adalah karena sekolah yang kupilih dekat dengan rumah dan yang penting aku bisa satu sekolah dengan Ansa. 

BAB V: Mimpi Kedua: Melihatmu Pertama Kali Membencimu Sampai ke Ubun-Ubun 

    Akhirnya masa MOS yang membosankan usai, aku juga akan memulai kelas pertama pagi ini. Hari pertama di kelas 7A adalah matematika dan aku lupa untuk meminta Ayahku membelikan buku paket yang diminta oleh Bu Retno, sosok guru killer yang paling cantik di sekolah. Bertubuh tinggi, berwajah mirip Tzuyu "Twice" dengan belahan dagu mirip Enzy Storia. Akhirnya tiba saat akhirnya Bu Retno menanyai anak muridnya yang tidak membawa buku cetak, dan mau tidak mau aku harus mengangkat tangan alih-alih berbohong dan menambah masalah. Aku dan lima teman lain harus rela dihukum berdiri di depan kelas sepanjang pelajaran. "Gila, hari pertama sudah dihukum sungguh aku murid teladan." dalam pikirku. Sembari Bu Retno menjelaskan, aku memandangi satu persatu teman-teman baruku, kulihat ada teman-teman dari sekolah lamaku, ada Putri, Mita, dan yang lainnya dan yang terpenting ada Ansa yang duduk di samping seseorang bertubuh agak berisi dengan wajah super jutek dan berjerawat. Dia adalah Abimanyu, wajahnya jutek banget-banget banget mana lagi berkacamata, tapi kata teman-teman dia adalah yang paling humoris. "Bagaimana bisa manusia berwajah jutek bisa humoris? Yang benar saja!"

    Pelajaran Bu Retno akhirnya usai juga, kakiku sudah pegal-pegal tak tertahankan. Beliau dengan nada tegasnya lagi-lagi mengingatkan kami untuk bisa membawa buku cetak di pertemuan selanjutnya. Mau tidak mau cukup mengatakan "Baik, Bu" dan beliau berlalu dari kelas. Aku kembali ke bangkuku. Saat itu aku duduk dengan anak baru bernama Tina, anak juragan tambak ikan yang mukanya mirip Yoona SNSD, berwajah sedikit oriental dengan kumis tipis dan bertubuh kecil. Dia berasal dari sekolah yang sama dengan Abimanyu, tapi dia sangat ramah. Di depanku ada Fafa anak seorang kontraktor, berwajah blasteran Arab dengan hidung yang sangat mancung, berkulit putih, cukup tinggi, cantik dengan 2 lesung pipi, dialah yang paling cantik di kelas, tapi dia sangat ramah dan periang. Teman sebangku Fafa adalah Yanti teman TK-ku dan teman sekolah beda kelas dulu. Dia adalah yang paling pandai di kelas Ansa, bertubuh tinggi jangkung dengan susunan gigi yang tidak rapi. Kami berkenalan dan saling mengobrol satu sama lain.

    Kemudian anak laki-laki di kelas mengumumkan akan memilih susunan kelas yang terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara. Dimulai dengan menyuarakan agar Abimanyu dan Dayat maju sebagai calon ketua, kemudian Rifa dan "Aku?" sebagai sekretaris. Tentu aku tak mau, tapi sialnya anak-anak terus menyuarakan agar aku maju. Bagiku kenapa aku harus jadi susunan kelas lagi. Aku sudah cukup trauma untuk menjadi susunan kelas pasca kejadian dimarahi Wakepsek SD dan harus mencari jurnal yang hilang terbawa pembina pramuka waktu itu, kalo diingat-ingat aku benar-benar kesal bagaimana aku diancam guru-guru padahal itu kesalahan pembina tolol, tapi apa daya, "yasudah" kataku lirih. Kemudian pemungutan suara berlanjut, keputusan akhir adalah Abimanyu sebagai ketua, Dayat wakil, Rifda sekretaris 1 dan aku sebagai sekretaris 2. Seusai keputusan diumumkan, Abimanyu diminta untuk ke ruang TU untuk mengambil spidol dan jurnal, Abimanyu juga memintaku dan Rifda untuk ikut. Ketika berjalan ke TU yang ada di bagian atas, aku seperti seekor nyamuk yang berlalu lalang memerhatikan dua insan yang mengobrol akrab bak pacaran. Yah siapa lagi kalo bukan Rifda dan Abimanyu. Akrab sekali bersenda gurau, sedangkan aku dikacangin begitu saja. Aku kemudian ingat dengan perkataan Fafa dan Tina "Kayaknya si Abimanyu sama Ansha lagi deketin Rifda deh." Pantesan saja gayanya akrab begini pikirku. Rifda sebenarnya tak terlalu cantik, dia hampir setinggi Abimanyu, berwajah chubby, wajahnya berjerawat, senyumnya yah agak manis, berkulit antara kuning langsat dan sawo matang, yang paling membedakannya adalah gaya jilbabnya yang maju hingga ujung dagu. Dia lulusan sekolah swasta yang populer, kabarnya dia pintar tapi apalah kalo dia genit ke lelaki, setidaknya itu yang digosipkan oleh teman-teman perempuan di kelasku.

    Sampai di TU, Pak Sonde menyerahkan lembaran jurnal guru. Pak Sonde dengan wajah khas NTT dengan suara galaknya menyuruh kami untuk mengingatkan guru-guru untuk mengisi penuh jurnalnya meskipun mereka tidak masuk dan harus menyerahkan ke TU tiap minggunya. Aku sebenarnya tak begitu memperhatikan toh ada si Rifah juga. Kembali ke kelas, lagi-lagi aku dicueki sama dua ABG dimabuk asmara ini. Yasudah lah, biarkan saja. Sampai di kelas kembali dan mulai pelajaran hingga bel pulang tiba. Bel sekolah yang nyaring dan khas seperti penjual es krim keliling mengakhiri kelas pagi ini. Aku dan teman-teman memutuskan untuk memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tas. Baru kali itu aku merasakan tasku seperti menggendong batu bata, buku-bukunya banyak dan tebal, mana lagi aku harus menggunakan rok span dan berjilbab di tengah cuaca yang panas siang itu membuatku gerah dan membatasi gerakku.

    Hari-hari berlalu dengan lancar, aku harus mencari berkeliling mencari guru-guru dengan Rifda untuk minta tanda tangan tiap minggu agar Pak Sonde tak mengomeli kami yang kerap menyerahkan jurnal yang masih ada kolom yang kosong. Rutinitas yang cukup melelahkan karena harus mengelilingi sekolah yang seperti mendaki gunung lewati lembah dengan rok span super singset. Selain itu, kami juga beberapa kali kena omelan guru karena salah menulis namanya perkara huruf "u" dan "a" saja. Salah satunya Bu Suarsih, Guru Fisika killer penghuni lab. paling ujung sekolah. Kami menulis namanya dengan Suwarsih padahal namanya Suarsih, "Saya itu orang Jawa bukan orang Bugis, jadi pakai "u", masa kalian harus saya kasih tau? Kan sudah saya tuliskan nama saya di papan tulis waktu itu!" Hmm.. yah itulah beliau badannya kecil kerap kali berbicara ke kami seolah-olah meremehkan, entah karena memang meremehkan atau mimik mukanya yang kerap kali terlihat seperti smirk. Aku masih mengingat bagaimana kami dihukum lari 10 kali lapangan pagi itu karena kesalahan Abimanyu yang mengatakan bahwa Bu Suarsih ga ada dan mata pelajaran Fisika tidak ada kelas padahal kami disuruh ke lab. untuk belajar mikroskop pertama kali. Alhasil kami lari 10 kali dengan menggunakan rok span. Membayangkan bagaimana anak kelas unggulan dihukum seperti itu, rasanya tak pernah ada di otakku sebelumnya. Tapi ternyata setelah diingat-ingat lagi lucu juga kapan lagi aku kena hukum begitu sama guru killer. 

    "Eh cepat ganti baju sudah ditunggu Pak Abdur!" kata salah satu teman lelaki yang berteriak dari atas memecahkan lamunanku. Yah kelas kami memang berada di dataran bawah makanya kukatakan sekolahku seperti lembah. Bagian dataran tinggi adalah semua ruang sekolah kecuali kelas 7 yang digunakan bersamaan dengan kelas 8. Saatnya kelas Penjasorkes yang diajar Pak Abdur, guru yang agak pendiam dan berkulit kuning langsat. Kami yang saat itu terlalu bersantai kemudian, berganti baju di dalam kelas saja sama halnya dengan anak-anak cowok. Meskipun menggunakan jilbab, tapi kami masih belajar jadi lepas pasang tidak masalah, cuma masalahnya adalah anak-anak cowok kemudian mulai menggoda anak-anak perempuan. "Weh weh weh, jangan ganti baju di sini" teriak Ansa. Benar-benar kelakuan playboyannya sangat mendarah daging, sepertinya kegenitannya kumat. Kami yang selesai berganti baju kemudian mengikuti kelas Penjasorkes. Seperti biasa pemanasan dilanjutkan dengan olahraga sikap lilin, waktu yang tersisa kemudian digunakan anak-anak cowok untuk bermain volley. Kami anak-anak cewek hanya memperhatikan bagaimana anak-anak cowok sangat berbeda dengan kami, atletik dan pandai di semua bidang olahraga. Beberapa saat sebelum kelas usai kami kembali ke kelas dengan kegerahan, kami kemudian bersenda gurau. "Eh, eh, eh" kata Ansa memanggil ke arahku. Aku sudah kadung kegeeran "Hah? Apa?" kataku menyaut. "Eh bukan kamu, hahaha" ditambah dengan tatapan sinis dan tertawa mengejek Abimanyu. Abimanyu bahkan menyebut pelan "Geer", kemudian aku menatap sini mereka dan membalikkan badan. Aku baru ngeh yang dipanggil adalah Rifa. "Dih sok ganteng, lu kan dulu suka sama gue" makiku ke Ansa dalam hati, aku juga tak lupa memaki dan mengutuk Abimanyu "Apa sih, awas aja sampai lu suka ke gw. Astaga mikir apa, amit-amit sama cowok jutek macam itu. Jangan sampai ya Allah!!" "Makan tuh si Rifda lu kejar-kejar!" "Apa bagusnya dia sih aku penasaran! Entahlah ngapain aku mikirin dia! Mending aku ngobrol sama anak-anak cewek di kelas!"

BAB VI: Sahabat Jadi Musuh

Akhir dari pertemananku dengan Novia dan Mita, berawal hanya karena si Yoga.

BAB VII: Dari Benci Jadi Suka: Kutukan yang Akhirnya Terjadi

Kelas 7 berakhir dengan aku mendapatkan peringkat kedua, ternyata aku dikalahkan dengan si Rifda. Entah apa yang membuat dia lebih unggul dariku.

Aku tak pernah membayangkan ternyata cowok yang aku benci sebenci-bencinya ternyata sekeren itu. Kalau dilihat-lihat dia punya dua lesung pipi dan kalau tersenyum manis seperti Rifky Balweel

Semua berawal dari komenan FB

BAB VIII: Pengalaman Pertama Diselingkuhi

BAB IX: Selamat Tinggal Masa-Masa Sekolah Terbaik

BAB X: Mimpi Ketiga: Beranjak Remaja

BAB XI: Mendapati Crush Menyukai Teman Sekelas

Aurel dan Abimanyu ternyata berpacaran. Kenapa Aurel menanyaiku.

BAB XII: Masa-Masa SMA yang Tak Seperti di Film-Film

Muncul kecemasan dan masa-masa kehancuran.

BAB XIII: Mimpi Ketiga: Kembali Jatuh Cinta di Universitas

    Kisah cinta lain aku alami pada saat aku berkuliah di universitas. Aku tetaplah sama, perempuan yang bertindak semauku, aku bebas melakukan apa saja, aku tak perlu menyapa orang-orang yang tak aku kehendaki.

    Awal perkuliahan, aku tidak memperhatikan sekitar karena bagiku tidak ada yang menarik, terkesan membosankan jauh lebih membosankan ketimbang ketika aku berada di SMA. Semua di pandanganku adalah sekumpulan anak-anak yang mencoba terlihat ambisius dan idealis, "tidak" maksudku hanya mahasiswinya saja. Alih-alih merasa terkesan, aku malah tak menyukai mereka. Aku juga tak tertarik untuk mengenal mereka, aku merasa bahwa aku hanya perlu berkuliah dengan benar, meraih nilai setidaknya di atas A/B agar orang tuaku bahagia atau berpikir kembali untuk mencoba SBMPTN sekali lagi.

    Awalnya aku pikir dengan aku yang diam dan wajahku yang cuek dan datar, tidak akan ada yang mau mengenalku tapi ternyata tidak. Manusia memang aneh, setidaknya itulah yang aku pikirkan. Semakin aku misterius semakin mereka penasaran. Aku sebenarnya tak berniat mengajak mereka berbicara, karena untuk apa? Aku kan tidak tertarik, tetapi anehnya mereka mulai mengenalkan diri padaku, mengajakku untuk mengobrol. Aku mulai terbiasa dengan menanggapi obrolan mereka terlebih para barisan belakang karena aku duduk di barisan tengah. Beberapa orang mulai mengenalkan diri, membuka obrolan via chat WA dengan pertanyaan seputar tugas. Aku mulai mempertanyakan kenapa mereka se-SKSD ini, apa mungkin karena aku paham dengan mata kuliah kalkulus pada saat itu. Padahal di benakku materi kalkulus sangatlah dasar, seperti mengulang pelajaran kelas 11 dan 12 SMA, tapi anehnya mereka tak bisa. Aku mulai akrab dengan mereka dan mulai mengobrolkan hal-hal lain di luar tugas. Yang tak pernah aku bayangkan 4 orang dari mahasiswa-mahasiswa di kelasku mulai bertingkah seperti menyukaiku, entah itu benar atau sekedar menjadikanku bahan ejekan. Mereka menanggapi leluconku bahkan di antaranya membelikanku es krim sampai aku mengira orang itu benar-benar menyukaiku. Aku mulai berpikiran sepertinya tak apa-apa jika aku menyukai salah seorang dari mereka yang sudah kukenal, lagi pula orang itu sangat perhatian dan sangat baik, tapi lucunya kemudian aku sadar orang itu baik ke semua orang. 

    Aku kemudian berkenalan dengan seseorang. Dia tak pernah ada dalam area pandanganku sebelumnya. Pertama kali aku menyadari keberadaannya ketika dia mengirim chat padaku, aku lupa isi chat-nya apa, sepertinya mengomentari status yang kubuat di WhatsApp. Aku awalnya menerka-nerka siapa dia? Kenapa aku baru dengar namanya? Karena display picture-nya tidak ada? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuiku, tapi aku cukup nyaman berbalas pesan dengannya. Dia mengenalkan diri, kemudian berlanjut dengan bercerita tentang tentang dirinya, keluarganya, dan impiannya untuk menjadi seorang polisi. Hal yang membuatku terkejut bagaimana dia bisa menyebutkan hal-hal yang dia katakan sebagai rahasia pada orang yang bahkan tak pernah menyapanya? Aku semakin penasaran, dalam benakku "Besok, akan aku cari tahu yang mana orangnya." 

    Sampai keesokan hari setelah kami berbalas WA, aku yang penasaran dengan sosoknya mencoba menengok dan mencarinya beberapa kali sampai pada absensi dibacakan Dosen dan aku menemukan arah suara "hadir" itu dari mana. Ah ternyata dia, aku mencuri pandang beberapa kali. Dia duduk di barisan belakang sebelah kananku. Aku menggambarkannya sebagai sosok Pong Won Hoo dari "The 20th Century Girl," aku bisa mengatakan dialah mahasiswa paling tinggi di kelasku, cukup pendiam, punya wajah sedikit oriental, berkulit cerah dan lebih putih dari mahasiswa lain di kelasku, suaranya khas ...


... dan senyumnya manis. 

    Dalam benakku "Kenapa aku baru sadar ada pria tampan di kelas ini." 

Sejak obrolan via chat itu, dia dan aku kemudian mulai saling mengobrol ditambah aku semakin akrab dengan teman-teman di kelas kami. Hal yang paling membedakannya dari mahasiswa lain adalah dia kerap kali menyapaku duluan dengan kata "Hai.." ditambah dengan senyumnya yang manis, padahal aku tak pernah menyapa orang lain terlebih dahulu. 

Kami akhirnya cukup dekat, kami kerap kali pergi makan bersama teman-teman lain, duduk satu barisan yang sama. Akan tetapi nampaknya dia mulai menjauh, tepatnya pada saat aku dijodoh-jodohkan dengan orang lain di kelas yang padahal orang itu hanya kuanggap teman mengobrol. Aku dan orang yang aku anggap teman mengobrol itu memang dekat, tapi aku tak pernah punya perasaan sama sekali. Orang-orang salah mengira dan mulai menggunjingku di belakang dengan "Kayaknya mereka PDKT." Pada saat itu, sudah kukatakan kami hanya teman dan tidak lebih. 


Saat aku mulai memperhatikannya diam-diam, sepertinya dia menjauh mengira aku memang PDKT dengan temanku itu. Pernah aku dengar percakapan mahasiswa di kelasku saat break kuliah, mereka seperti meledeknya, "Sudahlah dia itu gabakal suka sama kita, nyerah aja."


sampai pada obrolan menggelitik, kamu mau gak sama si itu si ini aku tegas menjawab "tidak, aku tidak akan menyukai siapa pun di kampus ini, aku akan pulang dan menikahi bos batu bara." Jawaban itu sepertinya dianggap serius, kadang juga aku menemukan dia digoda dengan kata "udahlah mana mau, dia sukanya bos batu bara." Mungkin ini kedengarannya aneh, mana mungkin seseorang percaya begitu saja dengan perkataan sembarang seperti itu. Tapi, dia percaya, aku juga tinggal di kos elit pada saat itu. Aku menyadari aku salah, tapi saat aku mau dekat dengannya kembali aku menemukan dia menyukai orang lain. Perempuan paling cantik di angkatan bawah kami. Mereka berpacaran, akhirnya aku tahu dan aku sedikit cemburu. Hari-hari terus berlalu, dia tetap menyapaku, dan aku bertingkah biasa saja sejak saat itu. Aku juga jatuh cinta kembali dengan seseorang yang aku suka kala aku SMP. Hari-hari berlalu, kami sering makan siang bersama, tidak hanya kami tapi beramai-ramai. 


Suatu hari kami duduk bersebelahan, aku kala itu mengingat bagaimana Ibuku menelponku, menceritakan banyak hal di rumah. Jujur aku jadi kepikiran dan tak memperhatikan kuliah dan malah asik menggambar. Dia memperhatikanku dan bertanya "Kamu gapapa?" dan aku menjawab dengan "Iya gapapa." Tapi dia semakin memperhatikanku, seperti "Kamu yakin?" Sampai akhirnya kami keluar dari ruangan sore itu dia kemudian menyapaku kembali sebelum kami pulang kuliah kala itu dengan "Hai.. coba senyum deh kamu manis kalo senyum."

BAB XIV: Mimpi Keempat: Kembali Terjebak Nostalgia

Menemukanmu terus-terusan mengejekku di sosmed.

BAB XV: Puncak Masa-Masa Sulit, Aku Kini Telah Dewasa Muda

BAB XVI: Mimpi Kelima: Keputusan yang Terburu-Buru

Jatuh cinta dengan Kakak teman SMA.

BAB XVII: Cinta Membuat Begini

BAB XVIII: Akhir Kisah Mimpi Kedua, Ending "You Are the Apple of My Eye"

0 Komentar